Jumat, 21 November 2014

Makalah tentang PEMAHAMAN EVOLUSI DARI ASPEK INTERAKSI ANTARA MAKHLUK HIDUP DENGAN LINGKUNGANNYA

Standard

PEMBAHASAN
1.      PEMAHAMAN EVOLUSI DARI ASPEK INTERAKSI ANTARA MAKHLUK HIDUP DENGAN LINGKUNGANNYA
A.    ETOLOGI (PERILAKU)
Setiap makhluk hidup akan melakukan interaksi dengan lingkungannya sejak pertama kali mereka dilahirkan. Untuk tetap eksis setiap makhluk hidup harus mampu melakukan adaptasi, baik pada tingkatan populasi maupun komunitas pada suatu biosfer.
Apabila kita melakukan eksplorasi terhadap beberapa macam interaksi makhluk hidup, banyak contoh telah di kemukakan para peniliti pada bidang perilaku hewan. Suatu spesies hewan mampu berinteraksi dengan lingkungan, hewan tersebut dapat berkomunikasi, bergerak, berinteraksi secara social dan mencari makanan. Kajian perilaku hewan merupakan salah satu aspek biologi yang telah lama di teliti, bahkan dapat dikatakan sebagai kajian yang paling tua.
Kajian perilaku dari hewan dapat dijadikan suatu “kunci” untuk memahami evolusi dan fungsi ekologi dari hewan tersebut. Robinowitz (1980) yang mempelajari perilaku macan tutul jaguar. Setelah memonitor beberapa iindividu menggunakan radio transmitter, disimpulkan bahwa jaguar merupakan hewan soliter, dan hanya melakukan kontak dengan sesamanya hanya saat musim kawin. Walaupun demikian, jaguar jantan turut berperan dalam memelihara anaknya. Selain itu, terdapat pula beberapa penemuan mengenai perilaku kawin, mencari makan, dan berbagai aspek evolusi serta peran ekologi jaguar tersebut.
Kajian perilaku hewan pada dasarnya mempelajari bagaimana hewan-hewan berperilaku di lingkungannya dan setelah para ahli melakukan interpretasi, diketahui bahwa perilaku merupakan hasil dari suatu penyebab atau suatu “proximate cause”.
Ahli perilaku yang pernah menerima hadiah nobel adalah Konrad Lorenz, Niko Tinbergen dan Karl Von Frisch. Percobaan yang dilakukan Tinbergen dan Lorenz membuktikan perilaku “innate” (bawaan) dan bentuk perilaku yang didapatkan karena melalui suatu proses belajar yang sederhana.Tinbergen melakukan percobaan dengan menggunakan sarang tawon yang ditempatkan di tengah lingkaran bunga inus, kemudian lingkaran bunga pinus dipindahkan disamping sarangnya. Ternyata tawon tersebut kembali ketengah lingkaran, tidak ke sarang. Demikian pula setelah lingkaran bunga pinus diganti dngan lingkaran batu tanpa sarang, dan disebelahnya dibentuk segitiga dari bunga pinus dengan sarang di tengahnya. Hasilnya menunjukkan bahwa tawon kembali ke lingkaran batu, bukan ke sarang di tengah segitiga bunga pinus. Hasil tersebut menyatakan bahwa tawon dapat menggunakan suatu bentuk di tanah dan terus menjaga lingkaran tersebut dengan belajar untuk mangenal sesuatu.
Dengan memahami penyebab perilaku, kita dapat lebih mengerti peran ekologi dan bagaimana hewan menghadapi seleksi alam serta bagaimana perilaku dapat meningkatkan kebugarannya (fitness), bidang ini juga dikenal dengan istilah Ekologi Perilaku.

A.  Perilaku Sebagai Akibat dari Pengaruh Genetis danFaktor Lingkungan
Bagaimana seseorang dapat bermain piano dengan baik? Hal ini dapat saja terjadi kareena baiknnya koordinasi jari dan kemampuan memainkan instrument tersebut. Tetapi pertanyaan yang kemudian muncul adalah kemapuan tersebut diturunkan atau cukup dipelajari dan dilatih?
Seringkali suatu perilaku hewan terjadi kareena pengaruh genetis (perilaku bawaan lahir atau “innate behavior”), dan karena akibat proses belajar atau pengalaman yang dapat disebabkan oleh lingkungan. Pada perkembangan ekologi perilaku terjadi perdebatan antara pendapat yang menyatakan bahwa perilaku yang terdapat pada suatu organisme merupakan pengaruh alami atau karena akibat hasil asuhan atau pemeliharaan, hal ini merupakan perdebatan yang terus berlangsung. Dari berbagai hasil kajian, diketahui baha terjadinya suatu perilaku disebabkan oleh keduanya, yaitu genetis dan lingkungan (proses belajar), sehingga terjadi suatu perkembangan sifat.
B.  Innate
Merupakan perilaku atau suatu potensi terjadinya perilaku yang telah ada di dalam suatu individu. Perilaku yang timbul karena bawaan lahir berkembang secara tepat atau pasti. Perilaku ini tidak perlu adanya pengalaman atau memerlukan proses belajar dan sering kali terjadi pada saat baru lahir dan perilaku ini bersifat genetis (diturunkan)

C.  Insting
Insting adalah perilaku “innate” klasik yang sulit dijelaskan, walaupun demikian, terdapat beberapa perilaku insting yang merupakan hasil pengalaman, belajar dan adapula yang merupakan faktor keturunan. Semua makhluk hidup memiliki beberapa insting dasar.
D.  Pola Aksi Tetap (FAPs= Fixed Action Paterns)
FAP adalah suatu perilaku stereotipik yang disebabkan adanya stimulus yang spesifik. Contohnya saat anak burung baru menetas akan selalu membuka mulutnya, kemudian induknya akan menaruh makanan didalam mulut anak burung tersebut. Contoh lainnya adalah anak bebek yang baru menetas akan masuk kedalam air. Perilaku ini ttelah “diprogramkan sebelumnya”, dengan kata lain, tidak diperlukan proses belajar. Induk burung tidak perlu belajar memberikan makanan kepada anaknya yang beru menetas, anak bebek tidak perlu belajar berenang. Contoh lainnya seperti riyual perkawinan, mempertontonkan keindahan (kejantanan) untuk menguasai suatu area (teritori). Dan anda dapat memikirkan perlakuan lain yang merupakan FAP.
E.  Perilaku Akibat Proses Belajar
Proses belajar seringkali diidentifikasi sebagai suatu upaya untuk mendapatkan informasi dari adanya interaksi, atau perilaku yang memang telah ada pada organisme.(hewan) dan cenderung memberikan pengertian dari suatu upaya coba-coba. Kita ketahui bahwa perilaku di pengaruhi factor genetik, sehingga organism (hewan) dapat memiliki hubungan dengan individu lain, dan juga dapat berhubungan dengan lingkungan. Sebagai contoh, kelulusankehidupan dari suatu spesies karena mampu berkembang biak, tetapi dalam proses tersebut terlibat pula seleksi alamiah yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan organisme (hewan) tersebut.
F.  Kisaran Belajar dari yang Sederhana Hingga Kompleks
Belajar adalah suatu perubahan dalam perilaku yang merupakan hasil dari pengalaman. Table 1.1 dibawah ini menunjukkan berbagai bentuk dari belajar yang menghasilkan jenis-jenis perilaku.

TIPE BELAJAR


KARAKTERISTIK


1.      Habituasi

Hilang atau timbulnya respons kepada stimulus setelah pengulangan suatu perlakuan


2.      Imprinting      

Pada kehidupan hewan, belajar yang tidak dapat diulang dan terbatas pada suatu periode keritis tertentu, sering kali dihasilkan dengan adanya hubungan kuat antara induk dan keturunannya


3.      Imitasi

Perilaku yang diakibatkan karena adanya proses pengamatan dan meniru individu lain



4.      Asosiasi




Perubahan perilaku yang diakibatkan dari suatu hubungan antara satu perilaku dengan system hukuman dan hadiah; dalam hal ini termasuk kondisi klasik dan belajar dengan mencoba-coba (trial and error)


5.      Inovasi

Perilaku yang timbul dan berkembang karena terjadi respons terhadap suatu keadaan yang baru, tanpamencoba-coba atau imitasi; dikatakan juga sebagai problem solving.

Tabel 1.1bentuk belajar



a.      Habituasi (habituation)
Habitasi adalah suatu bentuk belajar yang paling sederhana, akan terjadi jika stimulus yang tidak berbahaya didapat oleh organisme (hewan) secra berulang-ulang, setelah terjadi stimulus tersebut maka organisme (hewan) akan mengabaikannya. Habitusi akan dihasilkan setelah organisme (hewan) belajar, sehingga akan kehilangan respons bila stimulus dilakukan berulang-ulang dan tidak membahayakan dirinya.
Contoh perilaku ini misalnya anda menyentuh atau memukul secara perlahan seekor anjing pada bagian belakangnya (ekor), maka ia akan menoleh ke belakang, bila anda memukul dengan berulang kali, maka anjing tersebut tidak akan menghiraukannya atau tidak akan menoleh. Akakn tetapi hal menarik akan terjadi bila anda memukul perlahan dibagian lain, atau anda memukl perlahan setelah beberapa hari, anjing akan memberikan respons kembali. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa respons dasar pada prinsipnnya tidak hilang, tetapi untuk sementara waktu termodifikasi karena belajar.
b.      Imprinting
Adalah suatu pengenalan terhadap satu objek seperti induk, hal tersebut terjadi pada suatu periode kritis sesaat setelah lahir. Contohnya sekelompok angsa yang baru lahir anda beri makan atau angsa-angsa tersebut melihat suatu objek yang memberinya makan, maka anak-anak angsa tersebut akan menganggap anda atau objek tersebut sebagai induknya dan akan terus mengikuti anda atau objek. Walaupun anak-anak angsa tersebut melihat induknya yang benar, mereka akan mengabaikannya dan terus menganggap bahwa objek atau anda adalah induknya. Conto tersebut adalah hasil percobaan Konrad Lorenz yang mendapatkan hadiah Nobel karena kajian tersebut.
Perilaku imprinting dan FAP akan terjadi pada makhluk hidup walaupun stimulus yang diterimanya bukanlah yang alamiah. Misalnya induk burung akan memberi makan pada boneka anak burung yang membuka mulut pada sarangnya. Anak-anak angsa akan mengikuti boneka angsa dewasa yang diberi makan di belakangnya.
c.       Imitasi
Berbagai jenis hewan dapat melakukan perilaku sebagai akibat dari pengamatan dan meniru hewan lainnya. Perilaku tipe ini banyak dipelajari pada burung, akan tetapi perilaku imitasi terbatas oleh suatu periode kritis tertentu. Banyak hewan predator, termasuk kucing, anjing dan serigala kelihatannya belajar dasar taktik berburu dengan mengamati dan menirukan induknya. Pada beberapa kasus, factor genetis dan mencoba-coba dalam tipe belajar ini memegang peran penting.
d.      Asosiasi atau Pengkondisian (Associative Learning)
Definisi asosiasi atau pengkondisian adalah perilaku yang disebabkan oleh suatu hasil dari suatu respons terhadap kondisi-kondisi tertentu, baik kondisi tersebut diketahui atau tidak. Kondisi penyebab prilaku tersebut dikatakan pula sebagai stimulus. Respons adalah sesuatu yang di produksi atau dihasilkan karena adanya stimulus. Perilaku ini dapat dibagi menjadi:

1.       Pengkondisian Klasik (Classical Conditioning) atau Perilaku Asosiatif.
Contoh yang paling banyak digunakan adalah hasil percobaan Ivan Pavlov (ahli fisiologi perilaku dari Rusia) yang menggunakan bel untuk anjing. Bila bel berbunyi, anjing tersebut diberi makan, sebelum menyantap makanannya, anjing tersebut mengeluarkan saliva. Beberapa saat setelah itu, walaupun tidak ada makanan, sesaat setelah mendengar bunyi bel yang sama, anjing tersebut tetap mengeluarkan salivanya.
2.       Pengkondisian Operant (Operant Conditioning)
Perilaku ini lebih merupakn hasil kondisi yang disebut mencoba-coba atau “trial and error”. Semakin dekat individu mendapatkan respon dengan adanya stimulus positif, maka induvidu tersebut akan semakin mudah mengulang keberhasilan respon yang dilakukan. Perilaku ini termasuk dalam melatih seekor hewan. Dapat juga terjadi pada seekor hewan yang semakin lama semakin sedikit mengeluarkan energinya untuk mendaptkan makanan. Perilaku ini sering kali dijumpai pula pada hewan yang tidak akan mengulangi perbuatannya karena ternyata perbuuatan tersebut dapat membahayakan dirinya.
e.       Inovasi atau “Problem Solving” atau “Insight Learning”
Inovasi atau disebut juga “reasoning” adalah suatu kemampuan untuk merespons sesuatu terhadap keadaan baru dan dilakukan dengan tepat. Perilaku tipe ini terjadi pada proses belajar dan merupakan perilaku yang memiliki kualitas tinggi pada organisme (hewan). Perilaku ini berhubungan dengan kemampuan organisme (hewan) untuk melakukan pendekatan terhadap suatu situasi yang baru dan dapat menyelesaikan masalah yang terjadi. Intinya, setiap organisme (hewan dan juga manusia) dapat memiliki perilaku tertentu atau bertindak untuk melakukan sesuatu dengan alasan tertentu atau berfikir. Subjek dari inovasi adalah penyelesaian masalah, sehingga tipe perilaku ini sering pula diberi istilah “problem solving”.
G.    Perilaku Merupakan Refleksi Evolusi
1.      Ritme Biologi
Banyak jenis hewan mamalia seperti kelelawar, harimau dan bangsa kucing kurang aktif pada siang hari dan makan saat matahari tenggelam atau aktif malam hari. Akan tetapi, banyak jenis burung tidur pada malam hari dan banyak melakukan aktivitas pada siang hari. Pola hidup yang berulang-ulang setiap hari, seperti siklus tidur atau bangun pada makhluk hidup disebut Ritme Sikardian (Cycardian Rythms). Pada tanaman dan juga makhluk hidup lainnya, ritme biologi dikatakan juga dengan istilah Jam Biologi. Penyebab eksternal, khususnya siklus cahaya dapat mengatur waktu, membuat tubuh memiliki koordinasi ritme dengan ketat. Selain factor lamanya organisme didedahkan pada periode terang gelap tertentu, temperature juga berperan dalam ritme biologi Kepentingan mempelajari ritme biologi, waktu dan petunjuk serta faktor yang menyebabkannya sudah banyak dilakukan peneliti karena erat kaitannya dengan waktu kerja efisien, serta kemampuan dalam berfikir serta dalam membuat keputusan. Para pekerja malam, atau mereka yang melakukan perjalanan dengan pesawat terbang dari satu benua kebenua lain yang melintasi beberapa zona waktu yang berbeda, dapat menyebabkan keletihan, hingga mengurangi kemampuan bekerja, bahlan dapat menyebabkan depresi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya gangguan pada ritme biologi internal.
2.      Mekanisme Bergerak
Hewan dan tumbuhan atau organ dari suatu organisme tersebut memiliki cara khusus saat melakukan pergerakan. Telah dikehaui bahwa terjadinya pergerakan khusus karena adanya aksi atau stimulus sehingga suatu organisme bergerak, yaitu:
§  Kinetis
Kinetis adalah suatu perubahan acak (random) dalam kecepatan dan atau arah dari suatu organisme sebagai respons terhadap stimulus. Misalnya adanya pergerakan karena terjadinya kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Seperti beberapa kumbang yang sangat aktif di daerah kering dan kurang aktif di daerah lembab.
§  Taksis
Taksis sangat spesifik, berhubungan langsung sebagai akibat adanya suatu stimulus. Pergerakan organisme (keseluruhan) dapat kea rah stimulus maupun menjauhi stimulus. Misalnya larva lalat rumah akan bergerak menjauhi arah cahaya (fototaksis negative), perilaku ini kemungkinan terjadi karena larva tersebut dapat berlindung dari musuh alaminya. Banyak tumbuhan melakukan pergerakan ini karena adanya stimulus cahaya (foto), arus (rheo), angin, gravitasi, air dan lain-lain.
§  Kelompok (Group)
Pergerakan secara berkelompok yang terjadi pada banyak hewan dikenal dengan istilah migrasi. Hal ini, biasanya dipengaruhi oleh adanya perubahan cuaca atau musim, dan lebih khusus lagi perilaku ini berpengaruh untuk mendapatkan sumber makanan, daerah atau tempat untuk kawin, dan lain-lain.
Migrasi banyak terjadi pada berbagai jenis burung, serangga, seperti beberapa jenis kupu-kupu, berbagai jenis ikan dan mamalia lain. Pada dasarnya hewan melakukan migrasi karena telah mengenali daerah perjalanan mereka, dan hal ini dilakukan dengan adnya “piloting”, orientasi dan navigasi. Hewan dapat melakukan migrasi dengan adanya pengenalan suatu cara di atas atau kombinasi dari ketiganya.
§  Komunikasi
Komunikasi pada umumnya terjadi diantara sesama spesies, misalnya untuk mengenali pasangan kawin. Pada hewan-hewan social komunikasi dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengetahui koloninya. Komunikasi dapat pula terjadi untuk menghndari bahaya.
Komunikasi dapat terjadi melalui perantara senyawa kimia menggunakan Feromon, yaitu senyawa kimia yang disekresikan keluar tubuh organisme dan dapat dikenali (melalui bau, dimakan, dan lain-lain) oleh sesama spesies dan akan berguna untuk berbagai kehidupannya, misalnya untuk kawin, tempat berkumpul (agregasi), menemukan makanan, mengenali koloni, adanya bahaya, dan lain-lain.
Selian itu, komunikasi juga terjadi secara visual, hal ini banyak terjadi pada saat sesama spesies mengenali pasangan kawinnya atau saat mempertahankan daerah teritori. Komunikasi dengan suara (auditory communication) sangat banyak dilakukan oleh hewan, misalnya untuk mengetahui derah teritori, untuk mengenali sesame spesies dan digunakan untuk mengetahui sumber makanan dan untuk melakukan perkawinan, hingga untuk menginformasikan adanya bahaya. Sebagai contoh yang telah banyak ditelaah adalah adanya suatu hipotesis tarian lebah sebagai alat komunikasi untuk mengetahui sumber makanan.
§  Perilaku Sosial (Sicial Behavior)
Secara umum didefinisikan bahwa perilaku sosial adalah segala macam dari interaksi diantara sesame spesies yang melibatkan antara dua atau lebih individu organisme (umumnya hewan). Hal ini didasari adanya perilaku individu yang dilakukan karena perilaku individu itu sendiri dan perilaku dari kelompok (grup). Perilaku sosial dapat pula terjadi karena interaksi anggota dari berlainan spesies. Adanya perilaku sosial sebagai akibat dari kompetisi sering terjadi dalam dunia hewan, misalnya untuk memperebutkan sumber makanan, dan lain-lain
§  Agonistik
Perilaku agonistik adalah perilaku agresif yang pada dasarnya dilakukan untuk dapat lulus hidup (survival). Perilaku agonistik ini pada umumnya merupakan ritual, memperlihatkan kekuatan, dan keindahan (dapat berupa suara, tubuh dan lain-lain). Sering kali terjadi pula perkelahian yang tidak mematikan, walaupun pada beberapa spesies perkelahian dapat terjadi hingga terjadi kematian.
Perilaku agonistik terjadi pula untuk menarik pasangan kawinnya, banyak jenis burung jantan melakukan hal tersebut dengan mengeluarkan suara yang indah dan khusus, adapula yang melakuakan tarian dan mempertontonkan keindahan tubuhnya untuk menarik pasangannya.
Banyak hewan sosial yang melakukan kelangsungan hidupnya dengan memelihara adanya perilaku agonistik. Misalnya berbagai jenis ayam, apabila beberapa anak ayam yang tidak saling mengenali ditempati bersama, mereka akan melakukan respons dengan melakukan perkelahian kecil dengan saling mematuk. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik, pada akhirnya akan akan terjadi suatu hirarkki (dominasi hirarki), misalnya yang lebih tua akan mengontrol yang lainnya.
§  Teritori
Perilaku untuk mempertahankan daerah edar atau tteritori merupakan suatu usaha organisme (hewan) untuk mempertahankan adanya tempat sumber makanan, tempat untuk aktifitas reproduksi dan kesuksesan dalam memelihara anak atau keturunannya. Perilaku tersebut biasanya dipertahankan melalui berbagai cara komunikasi dan perilaku lainnya. Walaupun tidak semua spesies hewan memilki teritori tertentu, dan tidak selalu seleksi alam dapat memberikan adanya daerah teritori yang tepat bagi suatu jenis hewan.
§  Altruistik
Perilaku altruistik atau altruisme kelihatannya merupakan perilaku yang sering dikatakan sebagai “perilaku non egois”, perilaku ini banyak dilakuakan oleh hewan-hewan yang berkoloni. Individu yang melakuakan perilaku ini tidak mendapatkan keuntungan, bahkan dapat mematikan dirinya, akan tetapi perilaku ini akan memberikan keuntungan bagi kelompoknya atau koloninya, sehingga terjadi peningkatan kebugaran dari koloni terssebut.
B.     DOMESTIKASI, MODIFIKASI DAN VARIASI
Domestikasidiartikansebagaiusahauntukmengubahtanamandanhewan liar menjaditanamandanhewan yang dapatdikuasaidanbermanfaatbagikehidupanmanusia (Prawoto, 1986: 33).
Selamaperjalanansejarah, semenjakbabakmanusiapetanidanpeternak, usahadomestikasitelahdimulai.Hasilnya yang dapatkitajumpaihinggakinibaikmelaluiteknologisederhanamaupuntingkattinggiantaralainadalah:
Ø  Berbagai varietas tanaman padi
Ø   Berbagai hibrida tanaman perkebunan.
Ø   Berbagai jenis anjing ras
Ø  Babi
Ø  Strain’ bakteri yang dapat menghasilkan protein sel tunggal (‘strain’ ini merupakan hasil rekayasa genetika terutama yang telah dilakukan oleh negara-negara maju)  Dan sebagainya.
Makhluk hidup seperti yang disebut di atas seakan-akan telah mengalami penyimpangan dari takdir mereka sebagai tanaman dan hewan liar sebagaimana mereka berasal. Terlebih-lebih lagi penyimpangan terhadap takdir ini semakin jauh jika makhluk hidup yang baru itu dihasilkan dari rekayasa genetika.
Ciri atau karakteristik makhluk hidup yang dapat diketahui melalui indera kita disebut sebagai Fenotip, sebenarnya merupakan pengejawantahan dari faktor-faktor bawaan atau faktor dalam disebut sebagai Genotip, yang telah terpadu dengan faktor lingkungan. Jika Fenotip dinyatakan sebagai P, Genotip sebagai G, dan lingkungan sebagai E, maka salinghubungan antara faktor-faktor tersebut dapat dirumuskan sebagai   P = G + E.
Sebagai contoh, bunga dahlia yang tumbuh di dataran tinggi mempunyai bunga yang amat menarik karena ukurannya besar dengan daun-daun yang hijau lebat. Jika kita bertempat tinggal di dataran rendah ingin sekali memiliki tanaman seperti itu tumbuh di halaman atau kebun rumah kita, kekecewaanlah yang akan kita temui. Umbi dahlia yang diambil dari tanaman dahlia yang berbunga besar dan berdaun hijau lebat itu setelah ditanam di kebun kita pada akhirnya tumbuh menjadi tanaman dahlia berbunga kecil dan berdaun kecil-kecil juga. Faktor penyebabnya adalah adanya perbedaan yang amat menyolok yang disebabkan karena perbedaan beberapa kondisi di dataran tinggi yang berbeda dengan di dataran rendah seperti: suhu udara, kelembaban udara, kerapatan udara, dan juga tekstur dan struktur tanah, dan sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan faktor lingkungan. Jadi menurut rumus di atas adalah E, sehingga pemunculan ciri (fenotip) tanaman dahlia di dua tempat tersebut memang berbeda seperti rumus berikut:
ü  Dataran tinggi   : P = G + E
ü  Dataran rendah : P’ = G + E’
Karena E berbeda, biarpun G keduanyasama, maka P sebagaihasilinteraksiantara G dan E menjadiberbeda pula.
Seandainya kemudian tanaman dahlia berbunga kecil itu telah menghasilkan alat reproduksi, umbinya ditumbuhkan kembali di tempat asalnya, tumbuhlah tanaman seperti semula. Jadi ciri yang tampak karena lingkungan yang berbeda itu hanya bersifat sementara, tidak baka atau perubahan itu disebut sebagai modifikasi.
Pada populasi makhluk hidup kita sering menjumpai individu-individu yang satu sama lain memiliki perbedaan sifat pada bagian-bagian tubuh tertentu. Pada populasi manusia, misalnya, kita mengenal empat macam golongan darah A, B, AB, dan O, setiap orang bergolongan satu diantara empat golongan tersebut. Bila ditinjau secara genetik, perbedaan golongan darah itu disebabkan oleh perbedaan genotip, yaitu pasangan alel gen yang menentukan golongan darah seseorang. Perbedaan fenotip dalam populasi makhluk hidup yang didasari oleh perbedaan genotipnya disebut sebagai variasi.
Evolusi pada hakekatnya perubahan yang dialami oleh makhluk hidup pada tingkat populasi. Menurut Weisz (1965: 431) puncak perubahan di dalam proses evolusi ini ditandai dengan terbentuknya spesies baru dan jenis baru ini dalam kategori taksonomik menempati tingkatan yang lebih tinggi dari pada jenis asalnya. Pembentukan jenis baru ini dikenal dengan istilah spesiasi. Kumpulan makhluk hidup yang tergolong dalam satu jenis dinamakan populasi yang bersama-sama memiliki unggun gena (gen pool). Di dalam unggun gena satu dengan yang lain aliran gena (gen flow) dengan perantaraan perkawinan (Interbreeding) dalam anggota populasi, akan tetapi antar unggun gena satu dengan yang lain aliran gena tidak dapat berlangsung. Hal ini berarti jika aliran gena tidak dapat berlangsung, maka kedua makhluk hidup itu berbeda jenis atau antara keduanya memiliki unggun gena yang berbeda. Oleh karena itu masalah utama tantang spesiasi adalah terjadinya penghalang (barier) reproduktif antara makhluk hidup (Weisz, 1965: 431).

2. KETERGANTUNGAN MAKHLUK HIDUP PADA LINGKUNGANNYA
   Hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya  dipelajari dalam cabang biologi yang disebut ekologi lingkungan pada makhluk hidup pada dasarnya meliputi lingkungan fisik dan lingkungan biotik. Lingkungan fisik antara lain meliputi keberadaan mineral, cahaya, kelembaban, suhu dan keasaman (pH); sedangkan lingkungan biotik meliputi  semua makhluk hidup, tumbuhan dan hewan, yang mempunyai hubungan dengan makhluk hidup yang bersangkutan dalam komunitas biotik.
Di dalam komunitas biotik makhluk hidup satu sama lain tergantung, baik langsung maupun tidak langsung, selama perjalanan hidup masing-masing. Biarpun antara sesama makhluk hidup itu saling tergantung, mereka juga bersaing (berkompetisi) untuk memperoleh sumber daya yang menunjang kehidupannya. Kompetisi ini dalam rangka memperoleh makanan, mineral dan air, cahaya dan untuk wilayah kehidupannya (teritorial).
Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya, dapat dipergunakan konsep-konsep biologik tentang habitat dan relung (Nasia = niche). Habitat adalah tempat kehidupan makhluk hidup di dalam komunitas biotik. Istilah habitat dapat mengacu kepada wilayah yang luas, seperti padang pasir, perairan laut atau wilayah yang sangat sempit seperti usus manusia sebagai tempat hidup berbagai macam bakteri pembusuk. Maka boleh dikatakan bahwa habitat merupakan “alamat” makhluk hidup dalam komunitas biotik.
Relung adalah tempat hidup yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup dalam melakukan fungsi-fungsi kehidupannya, sehingga relung merupakan bagian yang lebih sempit dalam suatu habitat yang dan memiliki kekhususan bagi makhluk hidup. Istilah relung mengacu pada peranan makhluk hidup itu di dalam lingkungan biotiknya. Sebagai contoh dalam hal makanan, pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimanakah cara makhluk hidup memperoleh makanan, apakah mineral-mineral yang telah di serap oleh tumbuhan dapat dikembalikan lagi ke lingkungan, apakah makhluk hidup itu sebagai produsen atau konsumen? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat membantu kita untuk memahami istilah relung tersebut bila habitat boleh dipadankan (diasosiasikan) dengan kata alamat, maka relung di padankan dengan kata profesi makhluk hidup dalam lingkungan biotiknya. Oleh sebab itu, pengertian istilah relung selain meliputi keadaan fisik dan kimia, juga meliputi faktor-faktor biotik yang diperlukan oleh makhluk hidup untuk memelihara kehidupan dan perkembangbiakan (Baker, 1968 : 228-229)
Kalau kita meninjau berbagai komunitas biotik makhluk hidup, kita akan memperoleh kenyataan bahwa populasi-populasi penyusun komunitas satu dengan komuunitas lainnya tidaklah sama. Disamping itu seandainya antara komunitas satu dengan komunitas lainnya terdapat populasi jenis tertentu yang sama pada kedua komunitas itu, biasanya distribusi dan kelimpahan (abudance) populasi dalam keduanya tidak sama. Dalam hal penyebaran (distribusi) dan kelimpahan makhluk hidup, ahli ekologi kebangsaan Amerika, yaitu Shelford, mengemukakan sebuah hukum yang dikenal sebagai hukum toleransi “kelimpahan atau penyebaran makhluk hidup dikontrol (dipengaruhi) oleh faktor-faktor yang melebihi tingkat toleransi maksimum dan minimum bagi makhluk hidup”. Faktor-faktor ini lebih dipusatkan pada keadaan iklim, topografi dan kebutuhan-kebutuhan biologi tumbuhan dan hewan. Jadi makhluk hidup dibatasioleh beberapa faktor yang berada di atas atau di bawah tingkatan yang dibutuhkan olehnya. Keadaan tersebut mungkin berupa banyak atau sedikitnya cahaya, tinggi atau rendahnya kelembaban udara, banyak atau sedikitnya mineral yang terlarut dalam air tanah, banyak atau sedikitnya predator dan cukup atau kurangnya tempat perlindungan diri, sedikit atau berkecukupannya faktor-faktor yang membantu keseimbangan nutrien, banyak atau sedikitnya makhluk hidup lain yang merupakan patogen, dan sebagainya.
Satu macam faktor sudah cukup menentukan untuk dapat membatasi pertumbuhan makhluk hidup. Sebagai contoh andaikan kandungan nitrogen di udara di atas sebidang sawah sangat sedikit, sedangkan cahaya, air, dan zat kimia lainnya sebagai nutrien berlebihan. Tanaman padi di sawah itu akan berhenti melakukan pertumbuhan setelah nitrogen habis dipergunakan, walaupun faktor-faktor lain yang dibutuhkan untuk  kehidupannya masih dalam keadaan berlebihan dari tingkat kebutuhan yang diperlukan. Dalam keadaan seperti ini nitrogen adalah faktor pembatas pertumbuhan. Hukum yang menyangkut faktor pembatas ini dikemukakan oleh ahli botani berkebangsaan Jerman, Justin Liebig, sehingga dikenal sebagai hukum minimum Leibig. Walaupun sebenarnya Leibig hidup 70 tahun sebelum Shelford,namun karena adanya kemiripan antara kedua hukum tersebut,maka kemudian di gabungkan menjadi hukum toleransi liebing-shelford: ”Keberadaan, kelimpahan, atau distribusidi tentukan oleh satu atau beberapa faktor pembatas yang terdapat dalam keadaan di atas atau di bawah tingkatan yang dibutuhkan oleh makhluk hidup”. Tanaman dan hewan sangat bervariasi di dalam rentangan  (range) toleransi terhadap faktor-faktor lingkungan yang berbeda. 
Memperhatikan gambar 6.2 terlihat bahwa antara daerah kematian dengan optimum merupakan tekanan (Stess) lingkungan terhadap makhluk hidup. Sebagai akibat tekanan lingkungan berbagai tingkat organisasi biotik dapat dipengaruhi.
Miller mengidentifikasikan berbagai pengaruh tekanan lingkungan pada tingkat organisasi biotik adalah sebagai berikut (Miller, 1982: 95) :
1.    Pada tingkat Individu:
a.        Perubahan Fisika dan kimia sel tubuh
b.      Gangguan Mental
c.        Sedikit  atau tidak sama sekal menghasilkan keturunan
d.      Kerusakan genetik (Eefek mutagenik)
e.        Kelainan cacat (efek teratogenik)
f.       Timbulnya jaringan kanker (efek karsinogen)
g.       Kematian
2.    Pada tingkat Populasi
a.       Penurunan ukuran populasi
b.      Kenaikan ukuran populasi (jika predator alaminya punah atau berkurang)
c.       Perubahan sturktur umur (kematian yang tua, muda atau yang lemah)
d.      Seleksi alam dan terbentuknya idividu yang memiliki gen-gen resinten terhadap perubahan lingkungan
e.       Hilangnya keragaman genetik dan kemampuan adaptasi
f.       Kepunahan populasi
3.  Pada tingkat komunitas-ekosistem
a.    Kekacauan dalam  aliran energi
§   Perubahan dalam banyaknya input energi matahari
§   Perubahan dalam banyaknya panas yang dihasilkan
§   Perubahan jaringan-jaringan makanan dan pola kompetensi
b.    Gangguan dalam daur kimiawi
·      Kebocoran sistem  (pergantian/perubahan dari sistem tertutup menjadi sistem terbuka)
·      Adanya zat-zat baru (terkena buatan manusia, bahan-bahan sintetik)
c.    Penyederhanaan
·      Keragaman jenis menjadi redah
·      Kehilangan kepekan jenis
·      Makin terdesaknya habitat dan relung makhluk hidup
·      Jaring-jaring makanan menjadi kurang kompleks
·      Stabilitas menurun
·      Kepunahan seluruh atau sebagian struktur dan fungsi ekosistem
·       Kembali  kepada tingkat awal sukses